Sabtu, 23 Januari 2010

PENDIDIKAN YANG BERAKHLAQUL KARIMAH

Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan berbagai aspek individualitas yang diselengggarakan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu pendidikan bukanlah hal yang mudah. Banyak aspek yang harus dijadikan indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan. Namun ternyata ada kecenderungan keberhasilan pendidikan diukur hanya sebatas pencapaian angka-angka mata pelajaran. Hasilnya prestasi yang dicapai peserta didik dalam mata pelajaran belum berbanding lurus dengan perilaku. Justru pelanggaran sepertinya marak di mana-mana. Lihat saja perilaku peserta didik di sekolah-sekolah menengah pertama dan atas yang menggunakan kendaraan bermotor tanpa Surat Ijin Mengendari (SIM). Belum lagi pelanggaran norma-norma susila dan agama yang sepertinya sebagai sesuatu yang wajar karena perubahan tuntutan jaman. Dalam bulan April ini saja ada tiga siswa salah satu SMP Negeri di Sumedang mati dalam pesta minuman keras yang dioplos sendiri. Nampak sekali ketidak mampuan para peserta didik dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan agama untuk menghadapi permasalahan kehidupan.
Banyak orang kemudian mempertanyakan., bagaimana sebenarnya proses belajar mengajar yang terjadi di sekolah-sekolah? Karena pendidikan merupakan sebuah system maka diperlukan revolusi di bidang pendidikan. Salah satu unsur yang harus dilakukan adalah pengembangan disain pendidikan yang mampu menyentuh potensi dasar peserta didik. Di mana proses pendidikan didasarkan pada pengembangan hati nurani. Pengembangan disain seperti itu sebagai realisasi pendidikan yang berkhalqul karimah. Karena hati nurani merupakan dasar dalam menciptakan pendidikan yang berakhlaqul karimah. Di dalam Al-Qur’an 75:2 Allah telah bersumpah, yang artinya; “ Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” Hati nurani merupakan sesuatu yang luar biasa pada diri manusia, sampai-sampai Allah menjadikannya sebagai kalimat sumpah. Dalam bahasa Al-qur’an disebut Allawwaamah. Menurut kamus bahasa Arab kata tersebut berasal dari kata “la-i-ma” atau yang berarti menyesali diri, kesadaran moral, dan atau disebut hati nurani. Dari penjelasan tersebut hati nurani dapat disimpulkan sebagai potensi batin manusia untuk menyadari, menyesali diri, dan menghentikan perbuatan baik maupun buruk. Manusia menyesali diri mengapa tidak dari dulu rajin beribadah, mengapa tidak berlomba dalam kebaikan, mengapa berbuat maksiat, dan seterusnya. Sejarah telah membuktikan sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rosul ketika masih kecil sedang bermain-main dengan putra Halimatus sa’diyah di padang pasir, tiba-tiba menghilang dan putranya melihat bahwa Nabi Muhammad SAW dibelah dadanya oleh malaikat dan dibersihkan hatinya. Hal tersebut dimaknai sebagai menjernihkan dan memfungsikan hati agar memiliki kepekaan terhadap cahaya Ilahi.
Untuk melatih kepekaan hati nurani peserta didik tidak cukup membutuhkan seorang pendidik yang berbekal kompetensi dasar tentang disiplin ilmunya. Dibutuhkan pendidik yang diteladani dan menjadi bagian dari keteladanannya. Walaupun bukan segala-galanya namun pendidik mampu memberikan pengaruh terhadap pembentukan akhlakul karimah peserta didik, bahkan sebaliknya dapat memberikan pengaruh yang membahayakan kepribadian peserta didik. Karena sosok pendidik dapat berperan sebagai monster yang menakutkan dan sangat mungkin menjadi penyebar virus hati nurani. Dengan perolehan pengalaman yang baik dan benar di bangku sekolah akan ikut melatar belakangi perbuatan sekarang dan yang akan datang. Karena perbuatan yang akan datang dibentuk oleh pengalaman sebelumnya. Untuk mewujudkan peserta didik memiliki akhlaqul karimah perlu didukung kerja sama dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, orang tua, dan pendidik yang minimal memiliki kompetensi dasar.
Pertama, mampu mengabdi dengan tulus dan ikhlas. Paradigma bahwa mendidik adalah pekerjaan mengabdi yang tulus dan ikhlas hanya mengharapkan ridlo Allah akan memberikan pengaruh penghayatan kepada peserta didik. Para peserta didik akan mampu menilai hidup, makna hidup, dan tujuan hidup. Peserta didik akan berusaha untuk selalu bermanfat dalam kehidupan sehari-hari dengan menanamkan kebaikan dan kebajikan, meminimalisir perilaku yang kontra produktif, merugikan diri sendiri maupun lingkungan, menghargai waktu, mengendalikan diri dari hal-hal yang merusak dan tidak bermanfaat. Nilai tersebut mampu melandasi dan memberikan pemahaman bahwa belajar merupakan tantangan yang tak pernah bebas resiko. Ia tidak dapat merasakan betapa ruginya bila mengharapkan kesempatan tanpa mau menghadapi tantangan yang mengandung resiko karena keberhasilan dan kebahagiaan dibangun lewat jalan itu. Pemahaman tersebut akan menumbuhkan motivasi yang kuat dan komitmen yang kokoh untuk melakukan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya dan merasakan kepuasan ketika kaki kanannya menginjakkan di surga. Peserta didik hanya memiliki satu tujuan yaitu mengabdi dengan tulus dan ikhlas untuk mencapai ridlo Allah.
Kedua, pendidik memiliki kepekaan terhadap kebutuhan peserta didik. Salah satunya kebutuhan kasih sayang. Karena kasih sayang merupakan kebutuhan dasar peserta didik dalam mengembangkan kepekaan sosial. Pendidik lebih banyak menghindari menyalahkan apalagi marah namun memperbanyak pujian dan kasih sayang. Perilaku pendidik tersebut mampu menanamkan secara positif akan nilai-nilai kehidupan. Potensi empati peserta didik akan berkembang dengan baik dan benar untuk ringan tangan menolong sesamanya dan berlomba berbuat kebaikan. Peserta didik akan memperoleh pemahaman yang tepat dan benar bahwa kasih sayang merupakan jembatan emas antar manusia. Kasih sayang awal pembuka, pengisi, dan mengakhiri komunikasi antar manusia. Kasih sayang menjadi bahasa dunia untuk menjalin hubungan kebermanfaatan dan keberfungsian antar sesama. Manfaat tersebut bukan hanya dirasakan sendiri para siswa tapi juga semua makhluk beserta habitatnya di alam maya pada ini. Apalah jadinya jika pendidik mencari-cari kesalahan dan hanya bisa memberikan hukuman? Peserta didik akan terbiasa hidup senang dengan mencari-cari kesalahan orang lain, main hakim sendiri, menghina, dan menghujat. Seperti kecenderungan akhir-akhir ini pendidikan menciptakan persaingan yang menghasilkan soliterisme. Bukankah sebenarnya pendidikan yang melahirkan kompetisi untuk mengukuhkan sportifitas dan solidaritas sesamanya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar