Minggu, 24 Januari 2010

ISLAM IMPERIALIS DI INDONESIA

Kaum imperialis barat yang menjajah di Indonsia tidak hanya menguras kekayaan alam Indonesia namun juga merusak pemahaman masyarakat Indonesia terhadap ajaran Islam. Terutama Belanda yang bercokol paling lama di Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya yang pernah menjajah Indonesia. Belanda piawai menyebarkan virus “de vide et empera” (politik adu domba) yang terkenal ampuh memecah belah sistem pemerintahan yang waktu itu dipimpin oleh seorang raja. Terbukti banyaknya raja-raja di Indonesa yang diperankan oleh Belanda tak ubahnya sebagai boneka yang mudah disuruh-suruh untuk diadu domba. Tidak hanya sampai disitu, Belanda juga mampu memanfaatkan kondisi pendidikan masyarakat yang rendah dengan merusak tatanan kehidupan, baik nilai-nilai budaya maupun agama.

Kaum imperialis tahu betul bagaimana menghancurkan tatanan nilai-nilai agama melalui politik adu domba dalam pemahaman ajaran agama dan perusakan tatanan budaya dengan pemujaan diri atau kultus diri yang dikenal dengan feodalisme. Melalui cara-cara tersebut, Belanda berhasil menciptakan bibit perpecahan kaum muslim dengan memunculkan isu perbedaan paham dalam beragama. Perbedaan pemahaman yang kecil dijadikan isu yang besar untuk memecah belah kaum muslimin. Masyarakat tidak menyadari kondisi tersebut, bahkan terbius dan asyik mengkonsumsi perbedaan pemahaman.

Masih adanya perselisihan paham di masyarakat sekarang ini membuktikan bagaimana sisa-sisa keberhasilan politik Belanda yang menjadikan Islam di Indonesia sebagai Islam imperialis. Dimana kaum muslimin senang berdebat dibandingkan diskusi, senang menghujat dibandingkan mengungkap mukjizat Al-Qur’an untuk kemaslahatan bersama. Kaum muslimin mengkaji Alquran bukan untuk meningkatkan ketaqwaan namun lebih untuk mencari dalil yang memperkuat argumen perbedaan. Semakin memahami Al-Qur’an bukan berarti semakin banyak manfaat untuk diri sendiri dan orang lain namun justru semakin memperkokoh arogansi dan egaliter kepada sesama muslim. Memahami hadist Rasulullah hanya untuk menunjukkan sebagai pengikut yang setia dan pewarisnya bukan semakin kagum dengan pribadi Rasullullah, apalagi mengamalkannya. Padahal Rasulullah telah menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya.

Munculnya berbagai organisasi keislaman merupakan salah satu salah satu bukti minimnya pemahaman yang tepat tentang sifat Ar-Rahman dan Ar-Rohim. Organisasai hanya membesarkan egoime personal dan kelompok, bukan membangun kekuatan Islam melalui organisasi. Belum lagi perbedaan-perbedaaan yang muncul dari penetapan awal puasa dan mengakhiri puasa (Idul Fitri). Padahal sumbernya sama, “dari Al-Qur’an” diantaranya surat Yunus ayat 5 dan Hadist Rasulullah, dalam melihat bulan. Kalau saja umat Islam mau mengamalkan ayat yang artinya “Taatlah kepada Allah, dan Rasul dan pemerintahanmu,” maka sebaiknya duduklah bersama, bermusyawarah dan ikuti keputusan pemerintah melalui departemen Agama. Umat Islam akan damai dan tentram dalam beribadah dan tidak menimbulkan multi tafsir.

Melalui Al-Qur’an Allah telah memperkenalkan diri melalui awal surat yaitu basmalah. Bahkan menurut Rasullullah basmalah menjadi penentu putus dan tidaknya amalan manusia dihadapa Sang Kholik. Kalau saja umat Islam mau mengkaji dengan benar akan menemukan dengan jelas bagaimana sebenarnya mencegah terjadinya Islam imperialis. Ayat pertama dan yang sering diulang-ulang dibaca kaum muslimin baik sebelum membaca Al-Qur’an maupun ketika akan melakukan suatu aktifitas adalah bukti bagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya bahwa Dia (Allah) Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat tersebut memiliki makna bahwa kalaupun terjadi perbedaan, itu adalah suatu keindahan. Lihat saja kalau persepsi umat Islam positif dan indah dalam memandang perbedaan. Karena pelangi menjadi indah kalau berbeda warna dan tidak dapat disebut pelangi kalau tidak berbeda warnanya. Begitu juga persamaan adalah indah kalau itu suatu gerakan barisan. Semuanya menjadi indah kalau dimaknai dalam lingkup kasih sayang Allah.

Sangat minimnya pengetahuan agama karena kurangnya pendidikan dan beragama menjadikan masyarakat membaca Al-Qur’an sebagai bahan bacaan belum sampai pada kajian, pemahaman, bahkan pengamalan. Oleh karena itu umat Islam tidak cukup hanya sekedar membaca dan khatam Al-Qur’an karena baru pada tingkat pencapaian kwantitas belum sampai kwalitas yaitu pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an. Oleh karena itu memasuki bulan Ramadhan ke depan umat Islam perlu meningkatkan diri tidak hanya sekedar membaca Al-Qur’an pada tingkatan kwantitas namun menambahnya dengan melakukan kajian-kajian untuk lebih mengungkap kandungan Al-Qur’an yang merupakan mukjizat bagi umat Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar