Minggu, 24 Januari 2010

Membangun Keberanian Moral Anak Dalam Keluarga

Situasi global sekarang ini dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat memungkinkan terbuka peluang terjadi percepatan dan kompetisi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Namun tak dapat dihindari dampak negatif terhadap lingkungan keluarga. Kondisi lingkungan yang sangat komplek dengan keberagaman kesenjangan berpengaruh kepada keluarga. Orang tua disibukkan dengan tuntutan perubahan yang bisa mereduksi komunikasi verbal dan non verbal dengan anak. Secara kuantitatif frekuensi pertemuan sangat kurang, sekalipun ada kurang efektif. Perlakuan ke anak hanya sebatas pemenuhan materi yang kurang menjangkau kebutuhan perkembangannya. Kedekatan dan kehangatan semakin dangkal seiring menipisnya ikatan figur panutan orang tua. Sekalipun frekuensi pertemuan tinggi namun jauh dari kwalitas. Proses komunikasi seperti itu tidak efektif dan efesien dalam merangsang aspek-aspek kepribadian anak. Anak akan lebih banyak mengalami kebingungan dan keragu-raguan yang pada akhirnya dapat mengurangi keberanian dalam mengambil keputusan.

Padahal setiap anak yang dilahirkan ke dunia membawa potensi masing-masing. Salah satu potensi yang dibawa adalah keberanian. Sebagaimana tersirat dalam Hadist riwayat Muslim yang artinya ’Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.’ Fitrah atau potensi keberanian tersebut merupakan kodrat anak sebagai makhluk individual. Ia punya hasrat untuk menunjukkan (actualization) bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang lain (imitation). Seperti keinginan untuk berjalan, berlari, dan aktifitas lain yang lebih komplek. Namun karena kematangan dalam usia perkembangannya belum cukup, adakalanya apa yang dilakukan mengalami kesulitan bahkan kegagalan. Kesulitan dalam mengembangkan potensi tersebut seringkali tak disadari oleh anak. Apalagi kesadaran dalam mengembangkan potensi keberanian. Dalam hal ini tentu saja lingkungan keluargalah yang seharusnya memahami. Secara eksplisit dalam Hadist di atas menunjukkan bahwa orang tua menjadi faktor dominan yang pertama dan utama menentukan berkembang tidaknya potensi keberanian anak.

Pemahaman yang kurang dari orang tua menjadi biang kekeliruan memperlakukan anak. Bisa jadi perlakuan yang diberikan orang tua bukannya mengembangkan potensi keberanian, bahkan bisa sebaliknya menghancurkan. Anak yang masih dalam usia belum satu tahun yang sedang disusui ibunya dipandang belum berdaya dan cenderung diperlakukan sebagai anak yang tak berdaya. Ketika Ibu melihat anak sedang belajar berjalan dan terjatuh dengan tergesa-gesa memberikan perlakuan yang terlalu melindungi (over protection), anak diangkat dan disayang-sayang, bahkan ada yang cenderung langsung disusui. Bukan diberikan semangat dan dibangkitkan agar belajar berjalan lagi. Ada juga ibu yang bersikap telalu membiarkan perkembangan anaknya (over possesive). Anak dianggap membebani kehidupan orang tua. Perkembangan anak tidak terarah dan tak terkendali. Anak berkembang dengan banyak melakukan mencoba dan banyak salah, namun tak menyadari yang dilakukan adalah salah karena tanpa bimbingan orang tua. Padahal pengalaman tersebut merupakan proses pembelajaran yang sangat berharga dan sulit dilupakan anak. Sebagaimana hasil penelitian Pike (Sherow Sheila, 2006) selama tiga hari pengalaman belajar akan diingat anak sebanyak 90% (Research indicates that, over a period of three days, learning retention is as follows you remember; … 90% of what you say as you do).

Proses pembelajaran di dalam keluarga yang cenderung malpraktek oleh orang tua tersebut sangat menghambat perkembangan keberanian anak. Bagaimana tidak, kalau dalam satu hari mengalami perlakuan yang salah satu kali? Berapa kali kesalahan bila dengan kegiatan yang berbeda-beda selama satu bulan? Bagaimana kalau terjadi sampai usia lima tahun? Padahal pada usia tersebut menurut pakar Psikologi modern disebut-sebut sebagai dasar pembentukan kepribadian manusia. Bahkan menurut Bapak Psikologi modern W. Wundt disebut sebagai ‘Bapaknya manusia’. Bisa dibayangkan bahwa kehidupan anak akan mengalami akumulasi belenggu yang mengancam perkembangan keberaniannya. Tidak heran kemudian akan berdampak kepada kelambatan aspek kepribadian lainnnya.

Kondisi semacam itu jika terjadi di dalam keluarga tidak hanya menghambat namun dapat mengancam perkembangan keberanian anak. Apalagi dalam potensi keberanian anak tidak hanya mengarah kepada yang baik (taqwa). Dalam diri anak ada juga potensi keberanian yang salah (fujur). Sebagaimana tersirat dalam Al Qur’an surat Asy Syamsu ayat 8 yang artinya: ’Maka diilhamkan kepada nafsi, diri manusia sifat fujur dan taqwa.’ Oleh karena itu potensi keberanian tidak bisa dibiarkan namun harus dikondisikan dengan mengembangkan keberanian yang baik atau keberanian moral. Yaitu suatu potensi psikologis yang mendorong anak untuk terus menerus mencoba menunjukkan kemampuannya dalam meluruskan dan memperjuangkan kebenaran dalam kehidupan baik untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Keberanian yang benar akan menjadi daya tarik dan sekaligus pendorong untuk menjadi yang terbaik dalam menegakkan kebenaran. Sejarah membuktikan tentang orang-orang yang memiliki keberanian moral. Sebut saja Kholid bin Walid yang dengan tegas menjawab pertanyaan Abu Sufyan dalam menghadapi pasukan Romawi yang berjumlah 60.000 tentara bersenjata lengkap. Beliau menjawab dengan meminta 30 tentara muslim, yang setelah musyawarah akhirnya diputuskan ditemani 59 tentara muslim dan berhasil mengalahkannya. Begitu juga dengan Arek-arek Surabaya yang bersenjata peralatan untuk bekerja, seperti; cangkul, parang, bambu runcing, dan sejenisnya mampu menghalau tentara Belanda yang dibantu tentara Inggris dengan bersenjata modern. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bangsa Indonsesia. Hal tersebut dicapai karena kedhsyatan peranan keberanian moral dalam diri individu. Sebaliknya keberanian yang didominasi oleh sifat salah (fujur) akan mengantarkan anak kepada kesesatan. Anak tidak menunjukkan keberanian yang beradab namun bisa jadi biadab yaitu keberanian mengantarkan nafsu ammarah atau nafsu yang merusak. Seperti kasus pembunuhan dengan mutilasi yang marak akhir-akhir ini.

Bagaimana agar lingkungan keluarga mampu menjadi habitat yang subur bagi percepatan perkembangan keberanian moral anak? Tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Mengingat keluarga adalah suatu unit yang tidak berdiri sendiri namun sebagai suatu sistem yang tidak lepas dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu dibutuhkan keluarga yang mampu menerapkan proses pembelajaran bermakna melalui penekanan pada dominasi keyakinan sebagai dasar untuk mengarahkan fikiran anak dengan mempertimbangkan aspek rasa. Bila dijabarkan dalam langkah-langkah sebagai berikut:

1. Terima kekurangan dan maafkan kesalahannya.Allah mengaruniai anak dengan kelebihan dan kelemahan agar masing-masing belajar berbagi untuk saling memberi dan menerima. Begitu pula halnya di dalam keluarga, ketika anak pulang ke rumah membawa kekecewaan dan kegagalan. Orang tua dan anggota keluarga lain tidak menambah dengan hinaan maupun kemarahan. Apapun yang terjadi pada anak, tetap saja adalah anak buah kasih sayangnya. Terimalah yang sedikit dari anak kita, dan maafkanlah kesalahannya. Kesalahan yang tidak disengaja oleh anak adalah media penyadaran diri dalam upaya anak membangun keberanian moral. Pada saat seperti itu anak butuh pengertian keluarga untuk merangsang kepekaan diri. Tanpa kesalahan anak tidak tahu mana yang benar dan bagaimana cara memperbaikinya. Sikap penerimaan dan maaf dari orang tua menjadi energi pemicu dan pemacu keberanian moral untuk mengisi ruang-ruang kecerdasan yang tak terhingga; baik aspek spiritual, emosional, maupun kemampuan memprediksi masa depannya (visionable).
Kekeliruan perlakuan orang tua dalam memberikan kebebasan anak berkembang lebih disebabkan ketidak sabaran dan keterburu-buruan dan ingin segera selesai sesuai dengan persepsinya sendiri. Orang tua yang melihat anaknya lambat dalam makan biasanya segera menyuapi, apalagi bila berbenturan kepentingan waktu masuk jam kerja maupun waktu masuk jam sekolah anak. Membantu menyuapi, memakaikan baju anak akan mempercepat selesai pekerjaan namun cara seperti itu membunuh keberaniannya untuk mencoba dan mandiri. Begitu pula ketika anak mengalami kesulitan tugas-tugas dari sekolah. Orang tua cenderung menyelesaikan tugas-tugas sekolah anaknya untuk usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Namun ketika semakin sibuk dan semakin sulit tugas-tugas sekolah anak dibiarkan tidak dibantu dan tidak disemangati untuk menghubungi gurunya. Hasilnya anak menjadi mudah berhenti mencoba dan putus asa. Keluarga semacam itu hanya mengkondisikan anak tergantung kepada orang lain dan memberikan kebebasan semu karena membiarkan tanpa solusi.

2. Tidak memberikan janji, namun hadiah kejutan untuk keberhasilan.
Sekalipun anak di mata orang tua belum banyak kelihatan kelebihan dibandingkan teman sebayanya maupun anggota keluarga yang lain, namun sekali waktu bila anak menunjukkan keberhasilan sangat penting diberikan rangsangan berupa hadiah kejutan. Dapat berupa alat tulis menulis, buku bacaan, maupun baju dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Menurut Sigmund Freud (1978) ’individu berusaha mencapai keseimbangan hidup (homeostatis)’. Jika anak diberi hadiah maka akan memberikan hadiah. Begitu juga jika anak dipukul maka akan memukul. Kalau anak diberikan janji maka akan terbiasa untuk mudah memberikan janji. Lebih dari itu ketika orang tua memberikan janji akan terjadi proses menunggu. Proses penantian terwujudnya janji orang tua dapat menguras energi dan menjadi beban sehingga dapat mengurangi ruang gerak untuk mengembangkan keberanian mencoba pengalaman dengan ide-ide yang baru. Semakin lama janji tidak terpenuhi semakin besar beban yang menguras energi anak. Apalagi bila pada akhirnya tidak dipenuhi, anak mendapatkan pengalaman yang merusak kepribadiannya. Anak menjadi malas dan keberanian moral tidak akan berkembang bahkan akan tumbuh perkembangan keberanian yang merusak (destructive).

3. Lebih banyak spontanitas pujian/penghargaan daripada celaan.
Keberhasilan yang diperoleh anak seberapapun kecil kalau diberikan spontanitas pujian atau penghargaan akan menjadi kebanggaan diri. Spontanitas penghargaan orang tua menjadi pupuk yang tidak hanya menumbuhkan namun juga menyuburkan kepercayaan diri untuk membuka wawasan berani mengulang lebih baik lagi. Anak akan mampu membangun wawasan di atas penghargaan orang tuanya. Anak akan terbiasa jujur untuk mencapai keberhasailan, dan itulah salah satu unsur dasar keberanian moral.
Ketika anak sedang mengembangkan motorik kasar, dengan melemparkan suatu benda kadang orang tua yang kurang sabar menghentikan atau bahkan dengan memarahi. Bukan memuji dengan menggantikan benda yang dipegang atau mengalihkan sasaran lemparan. Kelihatan sederhana, karena memang itulah anak memulai melatih kemampuan yang sangat sederhana yang dimilikinya. Anak yang dipuji dengan spontan akan mudah digantikan atau dialihkan sasaran lemparannya. Ia akan merasa bebas bergerak berlatih mengembangkan kemampuan motorik sekaligus kognitif dengan berkonsentrasi memperkirakan terhadap sasaran. Bagi anak kegiatan tersebut jauh lebih penting seperti halnya orang tua sedang mengikuti seminar daripada melaksanakan perintah. Tanpa spontanitas penghargaan/pujian sangatlah muskil anak mampu membangun keberanian moral. Anak akan menampilkan keberanian yang semu, karena ada pamrih yang mendorong sangat kuat mengendalikan anak.

4. Mendengar untuk mengakui eksistensi diri anak.
Kemampuan mendengarkan dengan baik dari orang tua dalam situasai apapun terhadap keluhan ataupun kegagalan anak akan mampu mengubah perasaan negatif menjadi positif. Anak akan mampu mengubah kegagalan menjadi keberhasilan atau mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Menurut Adler (1978) ’manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi inferioritasnya dan ditarik oleh hasrat untuk menjadi superior’. Dengan kata lain perasaan inferioritas dapat diubah menjadi superioritas. Banyak tokoh-tokoh dunia yang mampu menjadikan kelemahan sebagai keunggulan dengan latihan keras; seperti Napoleon yang pendek tubuhnya dapat menjadi panglima perang yang ditakuti negara-negara didataran Eropa. Begitu pula dengan Albert Einstein yang sukses menemukan teori realitvitas.
Ketika Albert Enstein muda mengeluh karena sering diejek dan di keluarkan dari kelas oleh guru bahkan akhirnya dikeluarkan dari sekolah, sikap ibunya mau mendengar. Sikap seperti itu merupakan bentuk penerimaan dan pengakuan masih ada kesempatan bagi Einstein muda untuk memperbaiki diri. Ibu Enstein seperti halnya ibu-ibu yang lain kasihan dengan kekecewaan anaknya. Dengan bijak anak dipersilahkan bercerita dan ia hanya mengangguk dengan sedikit berkomentar. Hasilnya Enstein muda mau diajak bersekolah lagi di tempat yang baru. Ibu Enstein tahu membangkitkan keberanian moral anaknya untuk memulai yang baru dengan bersekolah lagi. Ia ubah perasaan gagal dengan semangat yang berkobar-kobar untuk berprestasi dengan meyakinkan anaknya. Enstein muda tumbuh keberanian moral untuk dapat berhasil lulus kuliah. Keberanian moral yang dimilikin Einstein meningkatkan dedikasi terhadap ilmu yang dipelajarinya. Ia berhasil menemukan teori yang berpengaruh terhadap dunia ilmu pengetahuan. Bukan sebab kemampuannya, namun siapapun orangnya bila telah memiliki keberanian moral maka keyakinan yang menuntun dan mengarahkan fikiran untuk menemukan suatu teori.

5. Bertanya untuk menyadarkan dan mengarahkan.
Upaya menumbuhkan keberanian moral tidak serta merta dapat dengan mudah berhasil. Dibutuhkan kecerdasan dari orang tua untuk mampu dan rajin bertanya. Karena bertanya merupakan setengah dari ilmu maka akan menjadi penguat (reinforcer) dalam mengisi kecerdasan di bidang spiritual yang menghasilkan keberanian moral. Orang tua menggunakan cara dengan bertanya untuk merangsang anak berfikir menemukan jawaban. Anak akan melakukan penjelajahan alam berfikir dan imajinasi yang dapat menjangkau dan memadukan rasa yang ada dalam dirinya. Tidak hanya sekedar berfikir namun telah terjadi proses penghayatan yang mampu merangsang kepekaan akan kesadaran diri. Kesadaran diri akan membantu mempercepat anak tanggap membaca situasi kondisi.

Pemikiran anak usia 2 atau 3 tahun sampai 7 atau 8 tahun yang masih dalam tahap pra operasional (Piaget: 1975) tentang keberadaan Allah tidak sama dengan anak usia 12 tahun pada tahap operasional kongkrit. Pada usia 12 tahun (Jalaluddin, 2007) mulai muncul pemikiran kritis untuk mencari kebenaran keyakinan agama. Anak dalam usia tahapan operasional kongkrit mungkin kalau dijelaskan keberadaan Allah dipahaminya dengan Allah ada di mana-mana. Sehingga ketika mau minum harus menyuruh Allah untuk pindah dulu. Padahal ada dimana-mana diartikan sebagai kekuasaan Allah yang menjangkau keseluruh jagat raya ini. Sementara anak usia 12 tahun untuk membuktikan keberadaan Allah orang tua harus menyuruh anaknya untuk mencubit tangannya sendiri. Ketika anak merasakan sakit, orang tua menanyakan apakah rasa sakit kelihatan? Disitulah gunanya bertanya untuk menyadarkan dan mengarahkan anak agar memiliki keberanian moral seperti halnya masa kecil Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhan yang diabadikan di Al-Qur’an surat Ibrahim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar