Minggu, 18 April 2010

POTENSI ANAK DAN BANJIR

Curah hujan yang tinggi mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami banjir. Daerah langganan banjir seperti di daerah Bandung selatan, tepatnya di wilayah kecamatan Dayeuh Kolot dan Baleendah tak lepas dari terkaman banjir tahun 2010 ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya masyarakat korban banjir mengungsi di tempat-tempat yang lebih tinggi. Namun setinggi apapun mengungsi takkan mampu mengungsikan kehidupan psikologis anak. Jangankan anak, orang tuapun cenderung tak mampu mengungsikan kehidupannya. Kekhawatiran, ketakutan, kepanikan, dan kesedihan tergambar di wajah anak-anak korban banjir. Bagi anak-anak, banjir dapat menjadi ancaman serius potensi psikologisnya

Anak yang berada di tengah-tengah banjir dengan melihat pemandangan air meluap yang mengurung gerak kehidupannya dapat menciptakan rasa takut. Pengalaman tersebut akan mengendap dalam ingatan anak yang ikut menyertai perkembangannya. Perasaan takut akan mengarahkan dan mendorong anak untuk mencari dan menemukan lingkungan kehidupan yang jauh dari air. Anak akan berusaha menghindar kehidupan yang dekat dengan air. Peristiwa yang menakutkan tersebut bila tak dapat dihilangkan dapat menyebabkan trauma sehingga manakala melihat sungai atau tempat-tempat yang rendah akan teringat. Tentu saja hal tersebut dapat mempersempit pengembangan diri anak. Ruang lingkup kehidupan yang menjadi tempat untuk perkembangan diri kurang leluasa, karena pilihan hidupnya semakin terbatas.

Keberadaan anak di pengungsian dengan segala keterbatasan pemenuhan kebutuhan hidup memberikan pengalaman tidak nyaman. Suasana yang gaduh, udara pengab siang hari, dan dingin ketika malam tiba serta keterbatasan makan dan minum. Belum lagi ingatan akan benda-benda kesayangan atau sesuatu yang berharga bagi anak, terendam dan bahkan mungkin hanyut terbawa banjir. Hasil karya dan usahanya selama ini sirna seiring datangnya banjir. Pengalaman tersebut membuat anak kecewa. Ia merasakan bahwa banjir telah mengambil kebahagiaan yang selama ini dinikmati. Ia tidak bisa mengeluh kepada siapapun karena orang lainpun sama senasib seperti dia. Akumulasi kekecewaan selama di pengungsian dapat membuat anak menjadi stress. Jika kondisi stress tersebut tak dapat diatasi dan intensitasnya meningkat dapat menyebabkan anak depresi. Suatu keadaan yang sangat tidak menguntungkan masa depan anak, karena akan menghambat perkembangannya. Ia akan tertekan dalam menjalani kehidupan. Seperti bom waktu, sewaktu-waktu akan meledak yang memunculkan perilaku mudah menyerah dan putus asa terhadap masalah yang dihadapi. Dalam kondisi depresi seperti itu tidak banyak yang dapat anak lakukan. Ia akan banyak tergantung kepada orang lain dan pada gilirannya sulit berkembang menjadi manusia mandiri.

Beban permasalahan yang harus ditanggung anak selama banjir dapat mengikis ketidak percayaan manakala orang lain kurang peduli. Kurangnya empati dan simpati yang berupa bantuan moral maupun materiil dari orang-orang yang tidak terkena banjir dapat menumbuhkan keraguan. Anak menjadi ragu-ragu kepada orang lain, bahkan ia merasa dipinggirkan. Keraguan tersebut akan dapat membuat anak lamban bertindak. Ia akan mengalamai keraguan ketika harus mengambil pilihan atau keputusan. Kelambanan bertindak akan mewarnai dan membentuk kebiasaan anak dalam kehidupan. Tentu saja hal tersebut membawa dampak yang buruk terhadap perkembangan perilaku. Anak yang memiliki kebiasaan lamban akan memungkinkan aktifitas belajar dan lainnya terhambat. Dengan kebiasaan lamban anak akan menjadi kurang disiplin dan akhirnya ia lebih banyak mengalamai kegagalan. Salah satu dampak yang lebih buruk ketidak percayaan anak kepada orang lain yaitu tumbuhnya sikap apatis dan apriori terhadap lembaga-lembaga yang ada. Anak akan masa bodoh dan kurang peka terhadap lingkungan. Tidak banyak tangung jawab yang dapat diharapkan pada anak yang tumbuh dengan apatisme dan apriori terhadap lingkungan. Anak malas untuk sekolah, beribadah, dan upaya pengembangan dirinya. Dengan begitu upaya mengatasi pemulihan korban banjir membutuhkan proses waktu yang tidak sebentar.

Anak yang merasakan kehidupan di pengungsian yang sangat terbatas dapat membentuk nilai-nilai kehidupan yang keliru. Berawal dari proses generalisasai terhadap fenomena banjir yang dibatasi oleh kemampuan berfikir dan mengakses informasi yang benar. Selanjutnya membentuk opini menyesatkan dan berangsur-angsur mengarahkan pola hidup anak. Anak terbiasa dengan pola hidup tidak bersih dan sehat. Tentu saja berdampak buruk bagi anak, karena akan membiasakan hidup tidak bersih dengan buang sampah sembarangan. Ia cenderung melakukan pembenaran dan mengabaikan kewajiban. Anak-anak yang seperti itu akan tumbuh menjadi generasi yang tidak patuh. Hal tersebut sebagai internalisasi nilai-nilai yang dibiasakan dalam kehidupan selama terkena banjir dan berada di pengungsian.

Ketidak pedulian orang-orang yang tidak terkena banjir dengan tidak menunjukkan perhatian dan pertolongan dapat menanamkan kebencian pada anak-anak. Pupusnya harapan anak-anak dikunjungi dan dibantu orang lain dapat memicu kemarahan. Anak merasa ditelantarkan dan diabaikan, padahal orang-orang yang tidak terkena banjir memiliki kemampuan untuk membantunya. Kekesalan tersebut dapat menumbuhkan sikap ingin mudah mendapatkan sesuatu dengan cara yang mudah tanpa harus kerja keras. Gejala yang nampak berupa tindakan berbohong. Cara tersebut sebagai upaya perlawanan terhadap rasa cemburu social. Perilaku bohong tersebut dapat menjadi suatu gerakan permusuhan yang pada akhirnya dapat memicu tindakan kriminalitas.

Oleh Karena itu diperlukan kebijakan dan kearifan local dari masyarakat dan pemerintah setempat untuk secara kongkrit dan cepat melakukan langkah-langkah yang komprehensif. Keterlibatan semua elemen masyarakat akan meminimalisir timbulnya dampak yang negative. Pemerintah dan masyarakat harus mau bekerja sama melakukan upaya preventif, kuratif dan penanganan pasca banjir dalam membantu memulihkan kondisi psikologis anak-anak korban banjir. Tanpa upaya tersebut bukan mustahil bahwa banjir diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.

Upaya pertama yang sebaiknya dilakukan orang tua adalah menjelaskan dengan jujur dan berani sebab-sebab banjir dengan mendasarkan diri pada ajaran Ilahi. Orang tua harus bisa mengajak anaknya untuk mengambil hikmah dari peristiwa banjir. Kedua, orang tua mencoba menanamkan nilai-nilai etos hidup yang kuat. Mungkin dengan kalimat sederhana, seperti; “Sok sanajan” atau dalam bahasa Indonesia adalah “walaupun”. Contoh; “Sok sanajan banjir, kita harus tetap istiqomah, rajin belajar, rajin bekerja, dan ibadah”. Itu merupakan sebagaian kata-kata yang mudah diingat dan mampu memberikan dasar semangat hidup anak untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik. Bukan dengan kata “ atuh da.” Kata tersebut lebih cenderung mengarah kepada mengeluh dan menyalahkan orang lain. Contoh; “atuh da banjir jadi malas sholat, atuh da ngantuk jadi malas ibadah dan seterusnya.”