Minggu, 24 Januari 2010

Langkah-langkah Proses Konseling Kelompok

A.Tahap Pembentukan:

1.Menerima secara terbuka dan mengucapkan terima kasih;
Kalimat yang diucapkan konselor: “Bapak sangat berterima kasih anda mau mengikuti kegiatan konselng kelompok.”
2.Berdoa
Konselor mengajak anggota kelompok untuk bedoa;
“Sebelum memulai kegiatan alangkah baiknya kita menundukkan kepala seraya bedoa kepada Allah SWT agar kegiatan konseling kelompok ini dapat berlangsung dengan lancar dan diperoleh hasil yang memuaskan dan menyenangkan.”
3.Konselor menjelaskan pengertian konseling kelompok;
Konselor menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan kegiatan konseling kelompok kepada anggota kelompok agar termotivasi untuk sungguh-sungguh mengikuti kegiatan sampai selesai.
4.Konselor menjelaskan tujuan konseling.
Konselor menjelaskan tujuan konseling kepada anggota kelompok agar kegiatan terfokus membantu memecahkan kesulitan yang dialami anggota dengan baik.
5.Konselor menjelaskan azas-azas konseling.
Konselor menjelaskan azas-azas yang digunakan dalam kegiatan konseling kelompok agar anggota kelompok termotivasi untuk terbuka mengemukakan kesulitan yang dihadapi sekalipun yang bersifat pribadi dan rahasia. Setelah dijelaskan konselor menanyakan kepada semua anggota agar membuat satu kesepakatan dan komitmen untuk saling menghargai dan berjanji tidak akan memberitahukan apa yang dibahas di kegiatan konseling kelompok.
6.Konselor melaksanakan perkenalan yang dilanjutkan dengan rangkaian nama-nama anggota kelompok.

B.Tahap Peralihan
1.Menjelaskan kembali kegiatan konseling kelompok
a.Masing-masing anggota kelompok berdiri.
b.Memperkenalkan diri semua nama anggota kelompok.
2.Tanya jawab tentang kesiapan anggota untuk kegiatan lebih lanjut.
3.Mengenali dan mengatasi suasana anggota kelompok untuk memasuki tahap berikutnya.
4.Memberi contoh kesulitan yang menghambat tugas–tugas perkembangan yang dapat dibahas dalam kelompok

C.Tahap Kegiatan
1.Menjelaskan kesulitan yang hendaknya dikemukakan oleh anggota
Kebutuhan atau kesulitan yang sangat mengganggu dalam kehidupan sehari-hari.
2.Mempersilahkan anggota kelompok untuk mengemukakan kesulitan masing-masing secara bergantian
Mendengar dan bersikap positif.
3.Memilih atau menetapkan kesulitan yang akan dibahas
Memahami secara positif, mendengar secara baik dan merespon dengan tepat.
4.Membahas kesulitan sescara tuntas
Bertanya tentang apa, bagaimana, dan mengapa.
5.Selingan
Permainan sederhana agar lebih dinamis dan bergairah
6.Menegaskan komitmen anggota terhadapkesulitan anggota
Mengemukakan ide-ide rasional, menanggapi pengalaman secara rasional, dan pemberian saran atau nasehat jika diperlukan.

D.Tahap Pengakhiran
1.Menjelaskan bahwa kegiatan konseling kelompok akan diakhiri
Kalimat yang biasa dikemukakan; ”Anak-anak, waktu jualah yang akan memisahkan kita pada pertemuan ini, Bapak persilahkan untuk mengemukakan kesan-kesan.”
2.Anggota kelompok memberikan kesan dan menilai kemajuan yang dicapai masing-masing
Kalaimat yang biasanya diucapkan konselor; ” Silahkan kemajuan apa yang anda dapatkan?”
3.Pembahasan kegiatan lanjutan
Kalimat yang biasanya dikemukakan konselor; ” Untuk kegiatan pembahasan selanjutnya, kapan kita rencanakan lagi pertemuan ini?”
4.Pesan serta tanggapan anggota kelompok
5.Ucapan terima kasih
6.Berdoa
7.Perpisahan

ISLAM IMPERIALIS DI INDONESIA

Kaum imperialis barat yang menjajah di Indonsia tidak hanya menguras kekayaan alam Indonesia namun juga merusak pemahaman masyarakat Indonesia terhadap ajaran Islam. Terutama Belanda yang bercokol paling lama di Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya yang pernah menjajah Indonesia. Belanda piawai menyebarkan virus “de vide et empera” (politik adu domba) yang terkenal ampuh memecah belah sistem pemerintahan yang waktu itu dipimpin oleh seorang raja. Terbukti banyaknya raja-raja di Indonesa yang diperankan oleh Belanda tak ubahnya sebagai boneka yang mudah disuruh-suruh untuk diadu domba. Tidak hanya sampai disitu, Belanda juga mampu memanfaatkan kondisi pendidikan masyarakat yang rendah dengan merusak tatanan kehidupan, baik nilai-nilai budaya maupun agama.

Kaum imperialis tahu betul bagaimana menghancurkan tatanan nilai-nilai agama melalui politik adu domba dalam pemahaman ajaran agama dan perusakan tatanan budaya dengan pemujaan diri atau kultus diri yang dikenal dengan feodalisme. Melalui cara-cara tersebut, Belanda berhasil menciptakan bibit perpecahan kaum muslim dengan memunculkan isu perbedaan paham dalam beragama. Perbedaan pemahaman yang kecil dijadikan isu yang besar untuk memecah belah kaum muslimin. Masyarakat tidak menyadari kondisi tersebut, bahkan terbius dan asyik mengkonsumsi perbedaan pemahaman.

Masih adanya perselisihan paham di masyarakat sekarang ini membuktikan bagaimana sisa-sisa keberhasilan politik Belanda yang menjadikan Islam di Indonesia sebagai Islam imperialis. Dimana kaum muslimin senang berdebat dibandingkan diskusi, senang menghujat dibandingkan mengungkap mukjizat Al-Qur’an untuk kemaslahatan bersama. Kaum muslimin mengkaji Alquran bukan untuk meningkatkan ketaqwaan namun lebih untuk mencari dalil yang memperkuat argumen perbedaan. Semakin memahami Al-Qur’an bukan berarti semakin banyak manfaat untuk diri sendiri dan orang lain namun justru semakin memperkokoh arogansi dan egaliter kepada sesama muslim. Memahami hadist Rasulullah hanya untuk menunjukkan sebagai pengikut yang setia dan pewarisnya bukan semakin kagum dengan pribadi Rasullullah, apalagi mengamalkannya. Padahal Rasulullah telah menjelaskan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya.

Munculnya berbagai organisasi keislaman merupakan salah satu salah satu bukti minimnya pemahaman yang tepat tentang sifat Ar-Rahman dan Ar-Rohim. Organisasai hanya membesarkan egoime personal dan kelompok, bukan membangun kekuatan Islam melalui organisasi. Belum lagi perbedaan-perbedaaan yang muncul dari penetapan awal puasa dan mengakhiri puasa (Idul Fitri). Padahal sumbernya sama, “dari Al-Qur’an” diantaranya surat Yunus ayat 5 dan Hadist Rasulullah, dalam melihat bulan. Kalau saja umat Islam mau mengamalkan ayat yang artinya “Taatlah kepada Allah, dan Rasul dan pemerintahanmu,” maka sebaiknya duduklah bersama, bermusyawarah dan ikuti keputusan pemerintah melalui departemen Agama. Umat Islam akan damai dan tentram dalam beribadah dan tidak menimbulkan multi tafsir.

Melalui Al-Qur’an Allah telah memperkenalkan diri melalui awal surat yaitu basmalah. Bahkan menurut Rasullullah basmalah menjadi penentu putus dan tidaknya amalan manusia dihadapa Sang Kholik. Kalau saja umat Islam mau mengkaji dengan benar akan menemukan dengan jelas bagaimana sebenarnya mencegah terjadinya Islam imperialis. Ayat pertama dan yang sering diulang-ulang dibaca kaum muslimin baik sebelum membaca Al-Qur’an maupun ketika akan melakukan suatu aktifitas adalah bukti bagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-Nya bahwa Dia (Allah) Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat tersebut memiliki makna bahwa kalaupun terjadi perbedaan, itu adalah suatu keindahan. Lihat saja kalau persepsi umat Islam positif dan indah dalam memandang perbedaan. Karena pelangi menjadi indah kalau berbeda warna dan tidak dapat disebut pelangi kalau tidak berbeda warnanya. Begitu juga persamaan adalah indah kalau itu suatu gerakan barisan. Semuanya menjadi indah kalau dimaknai dalam lingkup kasih sayang Allah.

Sangat minimnya pengetahuan agama karena kurangnya pendidikan dan beragama menjadikan masyarakat membaca Al-Qur’an sebagai bahan bacaan belum sampai pada kajian, pemahaman, bahkan pengamalan. Oleh karena itu umat Islam tidak cukup hanya sekedar membaca dan khatam Al-Qur’an karena baru pada tingkat pencapaian kwantitas belum sampai kwalitas yaitu pemahaman dan pengamalan Al-Qur’an. Oleh karena itu memasuki bulan Ramadhan ke depan umat Islam perlu meningkatkan diri tidak hanya sekedar membaca Al-Qur’an pada tingkatan kwantitas namun menambahnya dengan melakukan kajian-kajian untuk lebih mengungkap kandungan Al-Qur’an yang merupakan mukjizat bagi umat Islam.

Membangun Keberanian Moral Anak Dalam Keluarga

Situasi global sekarang ini dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat memungkinkan terbuka peluang terjadi percepatan dan kompetisi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Namun tak dapat dihindari dampak negatif terhadap lingkungan keluarga. Kondisi lingkungan yang sangat komplek dengan keberagaman kesenjangan berpengaruh kepada keluarga. Orang tua disibukkan dengan tuntutan perubahan yang bisa mereduksi komunikasi verbal dan non verbal dengan anak. Secara kuantitatif frekuensi pertemuan sangat kurang, sekalipun ada kurang efektif. Perlakuan ke anak hanya sebatas pemenuhan materi yang kurang menjangkau kebutuhan perkembangannya. Kedekatan dan kehangatan semakin dangkal seiring menipisnya ikatan figur panutan orang tua. Sekalipun frekuensi pertemuan tinggi namun jauh dari kwalitas. Proses komunikasi seperti itu tidak efektif dan efesien dalam merangsang aspek-aspek kepribadian anak. Anak akan lebih banyak mengalami kebingungan dan keragu-raguan yang pada akhirnya dapat mengurangi keberanian dalam mengambil keputusan.

Padahal setiap anak yang dilahirkan ke dunia membawa potensi masing-masing. Salah satu potensi yang dibawa adalah keberanian. Sebagaimana tersirat dalam Hadist riwayat Muslim yang artinya ’Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.’ Fitrah atau potensi keberanian tersebut merupakan kodrat anak sebagai makhluk individual. Ia punya hasrat untuk menunjukkan (actualization) bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang lain (imitation). Seperti keinginan untuk berjalan, berlari, dan aktifitas lain yang lebih komplek. Namun karena kematangan dalam usia perkembangannya belum cukup, adakalanya apa yang dilakukan mengalami kesulitan bahkan kegagalan. Kesulitan dalam mengembangkan potensi tersebut seringkali tak disadari oleh anak. Apalagi kesadaran dalam mengembangkan potensi keberanian. Dalam hal ini tentu saja lingkungan keluargalah yang seharusnya memahami. Secara eksplisit dalam Hadist di atas menunjukkan bahwa orang tua menjadi faktor dominan yang pertama dan utama menentukan berkembang tidaknya potensi keberanian anak.

Pemahaman yang kurang dari orang tua menjadi biang kekeliruan memperlakukan anak. Bisa jadi perlakuan yang diberikan orang tua bukannya mengembangkan potensi keberanian, bahkan bisa sebaliknya menghancurkan. Anak yang masih dalam usia belum satu tahun yang sedang disusui ibunya dipandang belum berdaya dan cenderung diperlakukan sebagai anak yang tak berdaya. Ketika Ibu melihat anak sedang belajar berjalan dan terjatuh dengan tergesa-gesa memberikan perlakuan yang terlalu melindungi (over protection), anak diangkat dan disayang-sayang, bahkan ada yang cenderung langsung disusui. Bukan diberikan semangat dan dibangkitkan agar belajar berjalan lagi. Ada juga ibu yang bersikap telalu membiarkan perkembangan anaknya (over possesive). Anak dianggap membebani kehidupan orang tua. Perkembangan anak tidak terarah dan tak terkendali. Anak berkembang dengan banyak melakukan mencoba dan banyak salah, namun tak menyadari yang dilakukan adalah salah karena tanpa bimbingan orang tua. Padahal pengalaman tersebut merupakan proses pembelajaran yang sangat berharga dan sulit dilupakan anak. Sebagaimana hasil penelitian Pike (Sherow Sheila, 2006) selama tiga hari pengalaman belajar akan diingat anak sebanyak 90% (Research indicates that, over a period of three days, learning retention is as follows you remember; … 90% of what you say as you do).

Proses pembelajaran di dalam keluarga yang cenderung malpraktek oleh orang tua tersebut sangat menghambat perkembangan keberanian anak. Bagaimana tidak, kalau dalam satu hari mengalami perlakuan yang salah satu kali? Berapa kali kesalahan bila dengan kegiatan yang berbeda-beda selama satu bulan? Bagaimana kalau terjadi sampai usia lima tahun? Padahal pada usia tersebut menurut pakar Psikologi modern disebut-sebut sebagai dasar pembentukan kepribadian manusia. Bahkan menurut Bapak Psikologi modern W. Wundt disebut sebagai ‘Bapaknya manusia’. Bisa dibayangkan bahwa kehidupan anak akan mengalami akumulasi belenggu yang mengancam perkembangan keberaniannya. Tidak heran kemudian akan berdampak kepada kelambatan aspek kepribadian lainnnya.

Kondisi semacam itu jika terjadi di dalam keluarga tidak hanya menghambat namun dapat mengancam perkembangan keberanian anak. Apalagi dalam potensi keberanian anak tidak hanya mengarah kepada yang baik (taqwa). Dalam diri anak ada juga potensi keberanian yang salah (fujur). Sebagaimana tersirat dalam Al Qur’an surat Asy Syamsu ayat 8 yang artinya: ’Maka diilhamkan kepada nafsi, diri manusia sifat fujur dan taqwa.’ Oleh karena itu potensi keberanian tidak bisa dibiarkan namun harus dikondisikan dengan mengembangkan keberanian yang baik atau keberanian moral. Yaitu suatu potensi psikologis yang mendorong anak untuk terus menerus mencoba menunjukkan kemampuannya dalam meluruskan dan memperjuangkan kebenaran dalam kehidupan baik untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Keberanian yang benar akan menjadi daya tarik dan sekaligus pendorong untuk menjadi yang terbaik dalam menegakkan kebenaran. Sejarah membuktikan tentang orang-orang yang memiliki keberanian moral. Sebut saja Kholid bin Walid yang dengan tegas menjawab pertanyaan Abu Sufyan dalam menghadapi pasukan Romawi yang berjumlah 60.000 tentara bersenjata lengkap. Beliau menjawab dengan meminta 30 tentara muslim, yang setelah musyawarah akhirnya diputuskan ditemani 59 tentara muslim dan berhasil mengalahkannya. Begitu juga dengan Arek-arek Surabaya yang bersenjata peralatan untuk bekerja, seperti; cangkul, parang, bambu runcing, dan sejenisnya mampu menghalau tentara Belanda yang dibantu tentara Inggris dengan bersenjata modern. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bangsa Indonsesia. Hal tersebut dicapai karena kedhsyatan peranan keberanian moral dalam diri individu. Sebaliknya keberanian yang didominasi oleh sifat salah (fujur) akan mengantarkan anak kepada kesesatan. Anak tidak menunjukkan keberanian yang beradab namun bisa jadi biadab yaitu keberanian mengantarkan nafsu ammarah atau nafsu yang merusak. Seperti kasus pembunuhan dengan mutilasi yang marak akhir-akhir ini.

Bagaimana agar lingkungan keluarga mampu menjadi habitat yang subur bagi percepatan perkembangan keberanian moral anak? Tentu saja bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Mengingat keluarga adalah suatu unit yang tidak berdiri sendiri namun sebagai suatu sistem yang tidak lepas dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu dibutuhkan keluarga yang mampu menerapkan proses pembelajaran bermakna melalui penekanan pada dominasi keyakinan sebagai dasar untuk mengarahkan fikiran anak dengan mempertimbangkan aspek rasa. Bila dijabarkan dalam langkah-langkah sebagai berikut:

1. Terima kekurangan dan maafkan kesalahannya.Allah mengaruniai anak dengan kelebihan dan kelemahan agar masing-masing belajar berbagi untuk saling memberi dan menerima. Begitu pula halnya di dalam keluarga, ketika anak pulang ke rumah membawa kekecewaan dan kegagalan. Orang tua dan anggota keluarga lain tidak menambah dengan hinaan maupun kemarahan. Apapun yang terjadi pada anak, tetap saja adalah anak buah kasih sayangnya. Terimalah yang sedikit dari anak kita, dan maafkanlah kesalahannya. Kesalahan yang tidak disengaja oleh anak adalah media penyadaran diri dalam upaya anak membangun keberanian moral. Pada saat seperti itu anak butuh pengertian keluarga untuk merangsang kepekaan diri. Tanpa kesalahan anak tidak tahu mana yang benar dan bagaimana cara memperbaikinya. Sikap penerimaan dan maaf dari orang tua menjadi energi pemicu dan pemacu keberanian moral untuk mengisi ruang-ruang kecerdasan yang tak terhingga; baik aspek spiritual, emosional, maupun kemampuan memprediksi masa depannya (visionable).
Kekeliruan perlakuan orang tua dalam memberikan kebebasan anak berkembang lebih disebabkan ketidak sabaran dan keterburu-buruan dan ingin segera selesai sesuai dengan persepsinya sendiri. Orang tua yang melihat anaknya lambat dalam makan biasanya segera menyuapi, apalagi bila berbenturan kepentingan waktu masuk jam kerja maupun waktu masuk jam sekolah anak. Membantu menyuapi, memakaikan baju anak akan mempercepat selesai pekerjaan namun cara seperti itu membunuh keberaniannya untuk mencoba dan mandiri. Begitu pula ketika anak mengalami kesulitan tugas-tugas dari sekolah. Orang tua cenderung menyelesaikan tugas-tugas sekolah anaknya untuk usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Namun ketika semakin sibuk dan semakin sulit tugas-tugas sekolah anak dibiarkan tidak dibantu dan tidak disemangati untuk menghubungi gurunya. Hasilnya anak menjadi mudah berhenti mencoba dan putus asa. Keluarga semacam itu hanya mengkondisikan anak tergantung kepada orang lain dan memberikan kebebasan semu karena membiarkan tanpa solusi.

2. Tidak memberikan janji, namun hadiah kejutan untuk keberhasilan.
Sekalipun anak di mata orang tua belum banyak kelihatan kelebihan dibandingkan teman sebayanya maupun anggota keluarga yang lain, namun sekali waktu bila anak menunjukkan keberhasilan sangat penting diberikan rangsangan berupa hadiah kejutan. Dapat berupa alat tulis menulis, buku bacaan, maupun baju dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Menurut Sigmund Freud (1978) ’individu berusaha mencapai keseimbangan hidup (homeostatis)’. Jika anak diberi hadiah maka akan memberikan hadiah. Begitu juga jika anak dipukul maka akan memukul. Kalau anak diberikan janji maka akan terbiasa untuk mudah memberikan janji. Lebih dari itu ketika orang tua memberikan janji akan terjadi proses menunggu. Proses penantian terwujudnya janji orang tua dapat menguras energi dan menjadi beban sehingga dapat mengurangi ruang gerak untuk mengembangkan keberanian mencoba pengalaman dengan ide-ide yang baru. Semakin lama janji tidak terpenuhi semakin besar beban yang menguras energi anak. Apalagi bila pada akhirnya tidak dipenuhi, anak mendapatkan pengalaman yang merusak kepribadiannya. Anak menjadi malas dan keberanian moral tidak akan berkembang bahkan akan tumbuh perkembangan keberanian yang merusak (destructive).

3. Lebih banyak spontanitas pujian/penghargaan daripada celaan.
Keberhasilan yang diperoleh anak seberapapun kecil kalau diberikan spontanitas pujian atau penghargaan akan menjadi kebanggaan diri. Spontanitas penghargaan orang tua menjadi pupuk yang tidak hanya menumbuhkan namun juga menyuburkan kepercayaan diri untuk membuka wawasan berani mengulang lebih baik lagi. Anak akan mampu membangun wawasan di atas penghargaan orang tuanya. Anak akan terbiasa jujur untuk mencapai keberhasailan, dan itulah salah satu unsur dasar keberanian moral.
Ketika anak sedang mengembangkan motorik kasar, dengan melemparkan suatu benda kadang orang tua yang kurang sabar menghentikan atau bahkan dengan memarahi. Bukan memuji dengan menggantikan benda yang dipegang atau mengalihkan sasaran lemparan. Kelihatan sederhana, karena memang itulah anak memulai melatih kemampuan yang sangat sederhana yang dimilikinya. Anak yang dipuji dengan spontan akan mudah digantikan atau dialihkan sasaran lemparannya. Ia akan merasa bebas bergerak berlatih mengembangkan kemampuan motorik sekaligus kognitif dengan berkonsentrasi memperkirakan terhadap sasaran. Bagi anak kegiatan tersebut jauh lebih penting seperti halnya orang tua sedang mengikuti seminar daripada melaksanakan perintah. Tanpa spontanitas penghargaan/pujian sangatlah muskil anak mampu membangun keberanian moral. Anak akan menampilkan keberanian yang semu, karena ada pamrih yang mendorong sangat kuat mengendalikan anak.

4. Mendengar untuk mengakui eksistensi diri anak.
Kemampuan mendengarkan dengan baik dari orang tua dalam situasai apapun terhadap keluhan ataupun kegagalan anak akan mampu mengubah perasaan negatif menjadi positif. Anak akan mampu mengubah kegagalan menjadi keberhasilan atau mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Menurut Adler (1978) ’manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi inferioritasnya dan ditarik oleh hasrat untuk menjadi superior’. Dengan kata lain perasaan inferioritas dapat diubah menjadi superioritas. Banyak tokoh-tokoh dunia yang mampu menjadikan kelemahan sebagai keunggulan dengan latihan keras; seperti Napoleon yang pendek tubuhnya dapat menjadi panglima perang yang ditakuti negara-negara didataran Eropa. Begitu pula dengan Albert Einstein yang sukses menemukan teori realitvitas.
Ketika Albert Enstein muda mengeluh karena sering diejek dan di keluarkan dari kelas oleh guru bahkan akhirnya dikeluarkan dari sekolah, sikap ibunya mau mendengar. Sikap seperti itu merupakan bentuk penerimaan dan pengakuan masih ada kesempatan bagi Einstein muda untuk memperbaiki diri. Ibu Enstein seperti halnya ibu-ibu yang lain kasihan dengan kekecewaan anaknya. Dengan bijak anak dipersilahkan bercerita dan ia hanya mengangguk dengan sedikit berkomentar. Hasilnya Enstein muda mau diajak bersekolah lagi di tempat yang baru. Ibu Enstein tahu membangkitkan keberanian moral anaknya untuk memulai yang baru dengan bersekolah lagi. Ia ubah perasaan gagal dengan semangat yang berkobar-kobar untuk berprestasi dengan meyakinkan anaknya. Enstein muda tumbuh keberanian moral untuk dapat berhasil lulus kuliah. Keberanian moral yang dimilikin Einstein meningkatkan dedikasi terhadap ilmu yang dipelajarinya. Ia berhasil menemukan teori yang berpengaruh terhadap dunia ilmu pengetahuan. Bukan sebab kemampuannya, namun siapapun orangnya bila telah memiliki keberanian moral maka keyakinan yang menuntun dan mengarahkan fikiran untuk menemukan suatu teori.

5. Bertanya untuk menyadarkan dan mengarahkan.
Upaya menumbuhkan keberanian moral tidak serta merta dapat dengan mudah berhasil. Dibutuhkan kecerdasan dari orang tua untuk mampu dan rajin bertanya. Karena bertanya merupakan setengah dari ilmu maka akan menjadi penguat (reinforcer) dalam mengisi kecerdasan di bidang spiritual yang menghasilkan keberanian moral. Orang tua menggunakan cara dengan bertanya untuk merangsang anak berfikir menemukan jawaban. Anak akan melakukan penjelajahan alam berfikir dan imajinasi yang dapat menjangkau dan memadukan rasa yang ada dalam dirinya. Tidak hanya sekedar berfikir namun telah terjadi proses penghayatan yang mampu merangsang kepekaan akan kesadaran diri. Kesadaran diri akan membantu mempercepat anak tanggap membaca situasi kondisi.

Pemikiran anak usia 2 atau 3 tahun sampai 7 atau 8 tahun yang masih dalam tahap pra operasional (Piaget: 1975) tentang keberadaan Allah tidak sama dengan anak usia 12 tahun pada tahap operasional kongkrit. Pada usia 12 tahun (Jalaluddin, 2007) mulai muncul pemikiran kritis untuk mencari kebenaran keyakinan agama. Anak dalam usia tahapan operasional kongkrit mungkin kalau dijelaskan keberadaan Allah dipahaminya dengan Allah ada di mana-mana. Sehingga ketika mau minum harus menyuruh Allah untuk pindah dulu. Padahal ada dimana-mana diartikan sebagai kekuasaan Allah yang menjangkau keseluruh jagat raya ini. Sementara anak usia 12 tahun untuk membuktikan keberadaan Allah orang tua harus menyuruh anaknya untuk mencubit tangannya sendiri. Ketika anak merasakan sakit, orang tua menanyakan apakah rasa sakit kelihatan? Disitulah gunanya bertanya untuk menyadarkan dan mengarahkan anak agar memiliki keberanian moral seperti halnya masa kecil Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhan yang diabadikan di Al-Qur’an surat Ibrahim.

Sabtu, 23 Januari 2010

Bahaya Virus Playstation Terhadap Kepribadian Anak

Hampir tiap hari anak usia sekolah tak lepas dengan aktifitas bermain. Mereka begitu karena bermain merupakan sarana bagi anak untuk mengembangkan kepribadiannya. banyak aspek-aspek kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan lewat dunia bermain. Tidak hanya kepribadian yang berkembang dengan pesat tapi juga potensi lain ikut dikembangkan, seperti ketrampilan motorik dan lainnya. Oleh karena itu tidak heran kalau kemudian mereka menganggap hidup sebagai permainan, sehingga nilai bermain jauh lebih penting bagi anak dari aktifitas lainnya. Bermain bagi anak bagai seminar bagi orang dewasa, mengasikkan dan menyenangkan. Orang kemudian berfikir permainan yang bagaimana yang mampu merangsang dan mengembangkan kepribadian maupun potensi diri anak?
Pertanyaan itulah yang dicoba dijawab orang dewasa dengan menawarkan permainan yang kemudian disebut dengan playsstation. Pada awalnya permainan ini digandrungi karena memberikan nilai repressing, namun belakangan ini telah menjadi fenomena yang memisahkan anak-anak usia sekolah dengan dunia bermain sebenarnya. Alhasil, perkembangan kepribadian dan potensi diri anak terbelenggu. Anak-anak yang biasanya berinteraksi dengan teman-teman sebaya diganti dengan layar monitor. Anak-anak yang biasanya bercucuran keringat karena aktifitas bermain di lapang sepakbola diganti dengan stick. Kesimpulan sementara playsstation telah menggantikan lapang sepak bola dan layar monitor menjadi teman bermain anak-anak. Orang kemudian bertanya, apa hal tersebut berdampak membahayakan perkembangan anak? Jawabnnya tentu saja sangat membahayakan. Buktinya dari sekian orang tua siswa yang berkonsultasi baik yang memiliki anak yang tergolong memiliki IQ cerdas (dari hasil psikotest) maupun yang tergolong di bawah cerdas, semua mengeluhkan kondisi anaknya yang semakin terganggu dengan munculnya kebiasaan malas karena kebiasaan main playsstation. Bahkan dari studi kasus, telah ditemukan anak Sekolah Dasar yang pernah memperoleh juara siswa teladan tingkat kabupaten ketika menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama tidak pernah masuk lima besar. di kelasnya, bahkan nilai raportnya ada di kelompok bawah. Penyebabnya adalah tiap pulang sekolah rajin bermain playsstation. Di rumah tidak ada orang tua, baru ada ketika sore hari karena urusan pekerjaan. Kenapa bisa separah itu pengaruhnya?
Ketika anak bermain playsststion perhatian tertuju pada monitor, semua perasaan dan emosi hanya untuk objek yang ada di monitor. Pada saat seperti itulah anak lupa waktu, lupa kewajiban bahkan ia lupa untuk makan dan minum sehingga kesehatannya akan terganggu. Karena asyik bermain anak akan sulit untuk pindah aktifitas yang lain, seperti; membersihkan diri dan lingkungannya. Karena permainan adalah dunianya maka anak merasa terganggu kalau ada orang di sekitarnya yang mengajak berinteraksi sehingga dapat berakibat munculnya egoisme dengan tidak mau melakukan kontak dengan saudara bahkan orang tuanya. Kondisi tersebut semakin membuat anak terasing dengan dunia sekitarnya. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan sifat malas, kurang sosial, mudah tersinggung, dan senang menyendiri.
Playsstation yang selalu menyajikan permainan yang bertingkat mendorong anak penasaran dan selalu ingin mencoba. Anak tertantang untuk mencapai tingkat tertentu sehingga fikirannya menjadi terikat memikirkan cara untuk mencapainya. Keterikatan fikiran terhadap permainan yang baru dan bertingkat itulah menjadi salah satu penyebab tersedotnya energy psikhis yang seharusnya dapat dipakai secara optimal untuk mengembangkan kemampuan berfikirnya. Jadi wajar kalau kemudian perhatian anak terhadap aktifitas belajar menjadi berkurang, karena karakteristik belajar itu menuntut berfikir keras sementara energy psikhis telah terpakai sebagian maupun seluruhnya. Hasilnya bisa ditebak prestasi belajarnya tidak optimal atau menurun. Orang tua kemudian kebingunngan karena sulit menghentikan kebiasaan anaknya bermain playsstation. Bagaimana cara mengatasinya? Pertanyaan itu sering kali muncul dalam konsultasi orang tua dengan konselor. Beberapa trik atau langkah-langkah khusus untuk memindahkan dunia bermain maya anak ke dunia bermain sebenarnya telah terbukti dalam studi kasus yang dilakukan konselor selama kurun waktu hampir tiga bulan untuk anak usia Sekolah Menengah Pertama. Sembilan trik atau langkah-langkah mengembalikan anak kepada dunia bermain sebenarnya adalah sebagai berikut:
1. Diskusikan kepada anak tentang akibat baik buruk bagi kesempatan mengembangkan kepribadian dan potensi lainnya. Orang tua tidak mendekte tapi lebih banyak mendengarkan dan mengarahkan dengan pertanyaan dan contoh. Bisa disuguhkan cerita tokoh kepahlawanan, tokoh yang berhasil mengubah dunia, tokoh yang mengalami keterbatsan fisik maupun psikhis dan berhasil mempengaruhi dunia dengan diakhiri melakukan refleksi. Sumber dapat diperoleh lewat internet atau toko buku. Kalau anak sudah bisa menggunakan internet bisa diberikan kepercayaan untuk menemukan sendiri, orang tua cukup memberikan alamat atau situsnya.
2. Berikan kepercayaan kepada anak bahwa bermain dengan teman di lapang terbuka akan mendapatkan keuntungan mengembangkan kepribadian dan potensi lain, seperti; pujian dari teman karena berhasil memasukkan gol ke gawang lawan, sportifitas ketika gawangnya dibobol lawan, kejujuran ketika tangan menyentuh bola dan harus menerima hukuman tendangan bebas dari lawan, pokonya banyak hal yang dapat ditunjukkan kepada anak akan manfaat bermain dengan teman di lapang terbuka. hal tersebut tidak didapatkan kalau bermain sepak bola atau lainnya di depan monitor.
3. Membuat komitmen bersama orang tua dan anak dengan jadwal yang dibuat anak untuk bermain playsstation secara terbatas seminggu sekali dan terus berkurang sampai seminggu 1 jam pada hari minggu. Berikan kesempatan kepada anak untuk menambah jam bila bisa bangun sebelum subuh untuk ikut sholat sunah tahajut. Hukuman terhadap pelanggaran sebaiknya dipilih oleh anak, orang tua cukup memberikan arahan dan penjelasan bahwa hukuman yang diberikan lebih sebagai pengganti, seperti; hukuman dengan membaca AlQuran setelah sholat malam, atau membantu kebersihan di rumah dengan dibarengi orang tua. Keberhasilan pada langkah ke tiga akan lebih cepat bila dibarengi dengan langkah ke empat dan lima.
4. Memindahkan dan menggantikan playsstation dengan aktifitas fisik, seperti; bermain sepeda, sepatu roda, sepak bola, dan olah raga lainnya.
5. Mengajak anak untuk melestarikan permainan tradisional sebagai kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa sendiri. Berikan motivasi agar anak mencintai dan melakukan permainan tradisional sementara orang tua memberikan fasilitas.
6. Jika anak sudah melakukan sampai langkah ke lima, mulailah membuat kesepakatan agar muncul kesadaran pada anak untuk menjauhkan CD playsstation kalau anak memilikinya di rumah. Anak dipersilahkan untuk membuangnya.
7. Hilangkan kecurigaan terhadap anak dan hindari untuk mengatakan “bohong” kepada anak. Biarkan anak mengakui kalau melanggarnya.
8. Bentengi anak dengan menanamkan niat ibadah bahwa semua langkah-langkah yang dilakukan diawasi dua malaikat dan bernilai ibadah yang sholeh.
9. Setiap langkah yang dilakukan oleh anak selalu diberikan evaluasi. Berikan kesempatan kepada anak untuk menunjukkan dan membuktikan perubahan yang didapat, sehingga anak merasakan keberhasilan. Berikan pujian dan hadiah setiap anak berhasil melakukan enam langkah di atas.

PENDIDIKAN YANG BERAKHLAQUL KARIMAH

Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan berbagai aspek individualitas yang diselengggarakan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu pendidikan bukanlah hal yang mudah. Banyak aspek yang harus dijadikan indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan pendidikan. Namun ternyata ada kecenderungan keberhasilan pendidikan diukur hanya sebatas pencapaian angka-angka mata pelajaran. Hasilnya prestasi yang dicapai peserta didik dalam mata pelajaran belum berbanding lurus dengan perilaku. Justru pelanggaran sepertinya marak di mana-mana. Lihat saja perilaku peserta didik di sekolah-sekolah menengah pertama dan atas yang menggunakan kendaraan bermotor tanpa Surat Ijin Mengendari (SIM). Belum lagi pelanggaran norma-norma susila dan agama yang sepertinya sebagai sesuatu yang wajar karena perubahan tuntutan jaman. Dalam bulan April ini saja ada tiga siswa salah satu SMP Negeri di Sumedang mati dalam pesta minuman keras yang dioplos sendiri. Nampak sekali ketidak mampuan para peserta didik dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan agama untuk menghadapi permasalahan kehidupan.
Banyak orang kemudian mempertanyakan., bagaimana sebenarnya proses belajar mengajar yang terjadi di sekolah-sekolah? Karena pendidikan merupakan sebuah system maka diperlukan revolusi di bidang pendidikan. Salah satu unsur yang harus dilakukan adalah pengembangan disain pendidikan yang mampu menyentuh potensi dasar peserta didik. Di mana proses pendidikan didasarkan pada pengembangan hati nurani. Pengembangan disain seperti itu sebagai realisasi pendidikan yang berkhalqul karimah. Karena hati nurani merupakan dasar dalam menciptakan pendidikan yang berakhlaqul karimah. Di dalam Al-Qur’an 75:2 Allah telah bersumpah, yang artinya; “ Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” Hati nurani merupakan sesuatu yang luar biasa pada diri manusia, sampai-sampai Allah menjadikannya sebagai kalimat sumpah. Dalam bahasa Al-qur’an disebut Allawwaamah. Menurut kamus bahasa Arab kata tersebut berasal dari kata “la-i-ma” atau yang berarti menyesali diri, kesadaran moral, dan atau disebut hati nurani. Dari penjelasan tersebut hati nurani dapat disimpulkan sebagai potensi batin manusia untuk menyadari, menyesali diri, dan menghentikan perbuatan baik maupun buruk. Manusia menyesali diri mengapa tidak dari dulu rajin beribadah, mengapa tidak berlomba dalam kebaikan, mengapa berbuat maksiat, dan seterusnya. Sejarah telah membuktikan sebelum Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai Rosul ketika masih kecil sedang bermain-main dengan putra Halimatus sa’diyah di padang pasir, tiba-tiba menghilang dan putranya melihat bahwa Nabi Muhammad SAW dibelah dadanya oleh malaikat dan dibersihkan hatinya. Hal tersebut dimaknai sebagai menjernihkan dan memfungsikan hati agar memiliki kepekaan terhadap cahaya Ilahi.
Untuk melatih kepekaan hati nurani peserta didik tidak cukup membutuhkan seorang pendidik yang berbekal kompetensi dasar tentang disiplin ilmunya. Dibutuhkan pendidik yang diteladani dan menjadi bagian dari keteladanannya. Walaupun bukan segala-galanya namun pendidik mampu memberikan pengaruh terhadap pembentukan akhlakul karimah peserta didik, bahkan sebaliknya dapat memberikan pengaruh yang membahayakan kepribadian peserta didik. Karena sosok pendidik dapat berperan sebagai monster yang menakutkan dan sangat mungkin menjadi penyebar virus hati nurani. Dengan perolehan pengalaman yang baik dan benar di bangku sekolah akan ikut melatar belakangi perbuatan sekarang dan yang akan datang. Karena perbuatan yang akan datang dibentuk oleh pengalaman sebelumnya. Untuk mewujudkan peserta didik memiliki akhlaqul karimah perlu didukung kerja sama dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, orang tua, dan pendidik yang minimal memiliki kompetensi dasar.
Pertama, mampu mengabdi dengan tulus dan ikhlas. Paradigma bahwa mendidik adalah pekerjaan mengabdi yang tulus dan ikhlas hanya mengharapkan ridlo Allah akan memberikan pengaruh penghayatan kepada peserta didik. Para peserta didik akan mampu menilai hidup, makna hidup, dan tujuan hidup. Peserta didik akan berusaha untuk selalu bermanfat dalam kehidupan sehari-hari dengan menanamkan kebaikan dan kebajikan, meminimalisir perilaku yang kontra produktif, merugikan diri sendiri maupun lingkungan, menghargai waktu, mengendalikan diri dari hal-hal yang merusak dan tidak bermanfaat. Nilai tersebut mampu melandasi dan memberikan pemahaman bahwa belajar merupakan tantangan yang tak pernah bebas resiko. Ia tidak dapat merasakan betapa ruginya bila mengharapkan kesempatan tanpa mau menghadapi tantangan yang mengandung resiko karena keberhasilan dan kebahagiaan dibangun lewat jalan itu. Pemahaman tersebut akan menumbuhkan motivasi yang kuat dan komitmen yang kokoh untuk melakukan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya dan merasakan kepuasan ketika kaki kanannya menginjakkan di surga. Peserta didik hanya memiliki satu tujuan yaitu mengabdi dengan tulus dan ikhlas untuk mencapai ridlo Allah.
Kedua, pendidik memiliki kepekaan terhadap kebutuhan peserta didik. Salah satunya kebutuhan kasih sayang. Karena kasih sayang merupakan kebutuhan dasar peserta didik dalam mengembangkan kepekaan sosial. Pendidik lebih banyak menghindari menyalahkan apalagi marah namun memperbanyak pujian dan kasih sayang. Perilaku pendidik tersebut mampu menanamkan secara positif akan nilai-nilai kehidupan. Potensi empati peserta didik akan berkembang dengan baik dan benar untuk ringan tangan menolong sesamanya dan berlomba berbuat kebaikan. Peserta didik akan memperoleh pemahaman yang tepat dan benar bahwa kasih sayang merupakan jembatan emas antar manusia. Kasih sayang awal pembuka, pengisi, dan mengakhiri komunikasi antar manusia. Kasih sayang menjadi bahasa dunia untuk menjalin hubungan kebermanfaatan dan keberfungsian antar sesama. Manfaat tersebut bukan hanya dirasakan sendiri para siswa tapi juga semua makhluk beserta habitatnya di alam maya pada ini. Apalah jadinya jika pendidik mencari-cari kesalahan dan hanya bisa memberikan hukuman? Peserta didik akan terbiasa hidup senang dengan mencari-cari kesalahan orang lain, main hakim sendiri, menghina, dan menghujat. Seperti kecenderungan akhir-akhir ini pendidikan menciptakan persaingan yang menghasilkan soliterisme. Bukankah sebenarnya pendidikan yang melahirkan kompetisi untuk mengukuhkan sportifitas dan solidaritas sesamanya?